Masjid Agung Sumenep





    Menghadap ke Taman Kota, yang berada di sebelah Timurnya.. Dengan gerbang besar, pintu kayu kuno, yang berdiri kokoh menghadap matahari terbit. Masjid Agung Sumenep, yang dulu dikenal dengan nama Masjid Jami’, terletak ditengah-tengah Kota Sumenep.
  
Masjid ini dibangun setelah pembangunan Kraton Sumenep, sebagai inisiatif dari Adipati Sumenep, Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar. Setelah sebelumnya dibangun masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep, 1626-1644 M). Dalam perkembangannya, masjid laju tidak mampu lagi menampung jemaah yang kian banyak.
Setelah keraton selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan arsitek yang juga membangun keraton, Lauw Piango, untuk membangun Masjid Jami’. Berdasar catatan di buku Sejarah Sumenep (2003) diketahui, Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ’Huru-hara Tionghwa’ (1740 M).
Masjid Jami’ dimulai pembangunannya tahun 1198 H (1779 M) dan selesai pada tahun 1206 H (1787 M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya sebagai berikut;
Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Dari tinjauan arsitektural, memang banyak hal yang khas pada bangunan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Islam di kabupaten paling timur Pulau Garam ini. Memperhatikan fisik bangunan, layaknya menganut eklektisme kultur desain.
Masjid Jami’ Sumenep dari bentuk bangunannya bisa dikata merupakan penggabungan berbagai unsur budaya. Mungkin pula sebagai bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya. Pada masa pembangunannya hidup berbaur berbagai etnis masyarakat yang saling memberikan pengaruh.
Yang menarik lagi, bukan hanya kolaborasi gaya arsitektur lokal. Tetapi lebih luas, yaitu antara arsitektur Arab, Persia, Jawa, India, dan Cina menjadi satu di bangunan yang istimewa ini. Mungkin pula berbagai etnis yang tinggal dan hidup di Madura lebih banyak lagi, sehingga membentuk struktur bangunan lengkap dengan ornamen yang menghias bangunan ini secara keseluruhan.
Kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid, sangat mungkin mewakili arsitektur Arab-Persia. Penerapannya tidak semata-mata, terdapat sejumlah modifikasi yang berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Ornamen yang kemudian dipertegas dengan warna-warna menyala, menggambarkan corak bangunan dari Gujarat-Cina. Semakin kental atmosfirnya ketika berada di bagian dalam bangunan utama. Memperhatikan mihrab masjid yang berusia 799 tahun ini, pada mimbar khotbah, hingga ornamen seperti keramik yang menghiasi dindingnya.
Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada desain masyarakat Jawa.
Struktur bangunan secara keseluruhan menggambarkan tatanan kehidupan masyarakat yang rumit di saat itu. Jalinan hubungan antaretnik yang hidup di Madura dapat disaksikan dari bangunan utuh dari sosok masjid Agung Sumenep ini.
Pada bagian depan, dengan pintu gerbang yang seperti gapura besar, beberapa orang berpendapat juga menampakkan adanya corak kebudayaan Portugis. Konon, masjid Agung Sumenep merupakan salah satu dari sepuluh masjid tertua di Indonesia dengan corak arsitektur yang khas.
Perkembangan Islam di tanah Jawa, pula menjadi bagian dinamika kehidupan masyarakat Madura. Perkembangan ajaran Islam di Pulau Madura, tak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pergumulan masyarakat Jawa yang secara gegrafis terpisah dengan Selat Madura. Perkembangan Islam di Ampel dan Giri menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Madura. Pada jamannya, tugas dakwah yang diemban para wali meliputi seluruh daerah, termasuk Jawa dan Madura.
Dalam perkembangan Islam di Madura tak lepas dari para pedagang yang datang dari Gujarat (India) serta para perantau yang berasal dari jazirah Arab. Mereka yang berhasil mendarat di Madura juga memberi kontribusi akibat interaksi, baik budaya maupun tata kehidupan.
Model akulturasi budaya yang ada di masa silam, secara jelas masih bisa dinikmati sekarang. Yaitu dengan melihat kekayaan detil arsitektural yang ada di masjid Jami’ Sumenep. Walaupun pada sekitar tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan kirinya. Namun demikian tidak mengurangi eksotismenya hingga sekarang.-az alim
.

Pulau Garam

Madura terkenal dengan sebutan pulau garam. Memang, selain hasil tembakau, ikan laut dan minyak bumi, garam merupakan produk unggulan di pulau ini. Siapakah yang tak kenal garam Madura yang kualitasnya nomor satu di dunia. Bahkan pulau Madura identik dengan pulau garam, walaupun tidak sepanjang pesisir pantai pulau Madura difungsikan sebagai tambak untuk pembuatan garam. Hanya pesisir sebelah selatan pulau ini yang memproduksi garam, sedangkan di sebelah utara dari Bangkalan sampai Sokobanah tak satupun aku temui. Setiap orang membutuhkan garam walaupun sedikit yang diperlukan. Kata semua orang, jika masakan tidak ada garamnya pasti terasa hambar. Manusia membutuhkan garam untuk menjaga keseimbangan tekanan osmosis darah dan jaringan sehingga transportasi zat yang keluar-masuk sel berjalan seimbang. Selain itu garam juga dapat dimanfaatkan sebagai agen pengawet bahan makanan yang aman dan murah, seperti ikan, daging dan asinan sayuran. Kristal putih itu cukup vital bagi kehidupan manusia. Di dalam Alkitab aku juga pernah mendengar cerita tentang garam. Istri Lot yang menoleh ke belakang ketika Sodom dan Gomora di musnahkan Allah, seketika itu berubah menjadi tiang garam. Demikian juga ketika bangsa Israel menduduki suatu kota, kemudian mereka menaburi kota yang sudah dihancurkan itu dengan garam. Aku belum mengerti maknanya itu, tetapi menurutku seolah-olah garam melambangkan sebuah malapetaka, hukuman dan kekalahan. Terkadang aku juga menemui bahwa garam juga digunakan sebagai salah satu kelengkapan prosesi supranatural. Untuk menundukkan hati orang tertentu bisa dengan menaburkan garam di sekeliling rumahnya. Ilmu tolak balak yang dimiliki rekan kerjaku juga memakai garam untuk memagari benda-benda supaya orang yang merusak atau mencuri menjadi sakit. Demikian juga dengan ilmu pengobatan kejawen mengkombinasikan cahaya matahari, garam dan mantera untuk menyembuhkan. Di atas semuanya itu Tuhan juga memerintahkan kita supaya menjadi terang dan garam dunia...

Keindahan Pantai Lombang

Pantai Lombang di Kecamatan Batang-Batang adalah salah satu objek wisata terbaik di Kabupaten Sumenep. Tak heran jika wisatawan mancanegara (wisman) banyak yang terpikat dengan keindahan pantai dan cemara udangnya. Mengapa?
Desir angin cukup dingin malam itu. Ombak yang berdebur kalah dengan riuh-rendahnya suara puluhan orang. Padahal, pada hari biasanya, hanya desir angin dan deburan ombak yang terdengar di Pantai Lombang pada malam hari.
Puluhan wisman itu berasal dari Denmark, Inggris, Australia, India, dan Pakistan. Mereka berkemah di pantai setelah diajak salah satu biro perjalanan wisata di Jakarta. Setiap tahunnya ada saja biro perjalanan yang mengajak wisman mengunjungi Pantai Lombang. Mereka tak hanya melihat pantai di siang hari, juga suasana di malam hari.

Puluhan tenda didirikan di sekitar jejeran pohon cemara udang (jenis kasuarina) yang menjadi pagar hidup sepanjang pantai. Para turis itu tampak menikmati pemandangan alam dan desiran ombak malam hari, sambil memanggang ikan segar. Hamparan pasir putih dengan pantai yang cukup landai menjadi pemandangan utama pantai Lombeng. Ombak yang tidak terlalu besar dengan hiasan ribuan pohon cemara udang yang telah berusia ratusan tahun menjulang tinggi di sepanjang pantai menjadikan suasana asri di pantai ini. Tidak sampai di sini saja kekaguman saya, ratusan bibit, bahan bonsai dipajang di sepanjang pulau ini, dijajakan kepada pengunjung pantai di pulau ini. Mereka membudidayakan cemara udang dilahan berpasir disekitar pantai Lombeng. Kami sempat mengunjungi tempat tersebut, padang pasir luas yang biasanya kami melihat di pantai-pantai lain di luar pulau Madura, menjadi sangat lain jika di bandingkan dengan padang pasir yang ada di pulau Madura. Hamparan hijau daun cemara udang terpampang jauh sampai batas penglihatan, seolah tak ada akhirnya. Kita akan dengan mudah untuk mendapatkan berbagai ukuran, bentuk, umur dari pohon tersebut di padang pasir ini. Kita tinggal milih, tunjuk, dan bilang kepada pemilik lahan tersebut untuk mengambilnya dari lahan tersebut apabila harga telah cocok. Apabila kita malas untuk berburu dengan cara seperti itu, kita juga bisa langsung membeli kepada para pedagang yang telah menjajakannya di pinggir jalan sepanjang jalan menuju pantai Lombeng.

Seperti telah di atur oleh Tuhan, kita tidak akan pernah mendapatkan santigi di pantai ini dan sebaliknya kita takkan pernah dapat cemara udang di Kalianget. Jadi untuk mendapatkan keduanya kita harus mengunjungi sendiri-sendiri.
Akhir dari perjalanan ini adalah , kami mendapatkan berbagai macam pohon bonsai yang sangat baik yang belum pernah kami dapatkan sebelumnya, 76 bahan santigi, 26 cemara udang, 7 serut dan 3 pot ki besi menjadi oleh-oleh yang sangat bernilai bagi kami. Bukan itu saja pesona dan khasanah wisata pulau ini Senantiasa menjadi buah rindu untuk penulis, sambil melepas cepetran kamera digital terakhir.

Clurit dan Carok Suku Madura


            Madura adalah pulau penghasil garam yang berada di sebelah timur pulau jawa. Suku yang menempatinya disebut suku madura. Bagi orang awam, suku madura kerap disandingkan dengan kata “ kasar “ . sungguh naif hal demikian, orang yang belum tahu apa-apa tentang madura langsung mengecap rakyatnya dengan julukan yang tidak mengenakkan. Yang mereka tahu adalah orang madura hanyalah suku yang menyelesaikan masalah dengan pertumpahan darah atau yang lebih lazim dekiatakan carok. Tapi, mereka tidak tahu mengapa suku madura mempunyai tradisi carok. Mereka juga sering mengatakan bahwa suku madura itu kasar, bengis, tidak berperikemanusiaan dan seorang pembunuh kejam bersenjatakan celurit. Carok sendiri mempunyai arti penting bagi orang madura, begitu juga pada celurit. Pada zaman dahulu, carok hanyalah suatu pembukian ekstensi seorang madura yang mempunyai harga diri setinggi gunung. Pada zaman kolonial, orang madura menyerang para kolonialis dengan mengadakan carok. Mereka juga mengadakan carok disaat harga diri mereka diinjak-injak oleh orang lain. Tidak sampai itu saja, orang madura khususnya sumenep mempunyai motto abantal omba’ ban asapo’ angin yang berarti berbantal ombak dan berselimut angin. Kata-kata ini mempinyai arti tentang perjuangan rakyat madura khususnya yang bermata pencaharian sebagai nelayan yang gagah berani dan tidak pantangmenterah demi kelangsungan hidup keluarga tercinta. Celurit, yang hanya kita pandang sebagai senjata sangat berbeda bagi orang madura. Bagi orang madura seperti saya, celurit adalah jati diri orang madura. Bentuk clurit seperti tanda tanya. Hal ini berarti bahwa orang madura itu sangat ingin tahu dan sangat gigih dalam mencapai cita-cita. Orang madura tidak keras dalam konteks yang negatif. Orang madura hanyalah seorang insan yang “ keras “ dalam mencapai jati diri, melindungi harga diri, menggapi cita-cita dan menjaga tanah airnya yang luhur

KERATON SUMENEP

Keraton Sumenep terletak di tengah-tengah kota yang dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Sumolo I tahun 1762. Bangunan keraton ini mempunyai corak budaya Islam, Cina dan Eropa. Di dalam keraton terletak peninggalan-peninggalan bersejarah seperti Pendopo Agung, kantor KOneng, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirto Negoro yang saat ini dijadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno. Pendopo Agung sampai saat ini masih dipakai sebagai tempat diadakannya acara-acara kabupaten seperti penyambutan tamu Negara, serah terima jabatan pemerintahan dan acara kenegaraan lainnya. Sedangkan kantor Koneng yang ebrarti kantor raja dahulu adalah ruang kerja Sultan Abdurrachman Pakunataningrat I selama masa pemerintahannya tahun 1811 sampai 1844 Masehi. Selain ketiga ruangan tersebut di kompleks keraton terdapat Taman Sare, yaitu tempat pemandian putri raja yang masih terlihat asri dan indah sampai sekarang. Bagian lain dari keratin Sumenep adalah pintu gerbang Labang Mesem, yang artinya pintu/ gerbang tersenyum yang melambangkan keramahtamahan masyarakat Sumenep terhadap setiap orang yang datang ke keraton.
Museum terbagi menjadi tiga bagian yang terletak di depan/luar keraton dan di dalam keraton. Bagian pertama, di luar keraton, adalah tempat menyimpan kereta kuda/ kencana kerajaan Sumenep dan kereta kuda pemberian ratu Inggris, yang sampai sekarang masih dapat dipergunakan dan dikeluarkan pada saat upacara peringatan hari jadi kota Sumenep. Bagian kedua dan ketiga terdapat di dalam keraton Sumenep, yang di dalamnya menyimpan alat-alat untuk upacara mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan keluarga raja, senjata-senjata kuno berupa keris, clurit, pistol pedang bahkan semacam samurai dan baju besi untuk perang, al-Qur'an yang ditulis oleh Sulta Abdurrachman, guci dan keramik dari Tiongkok/ Cina yang menggambarkan bahwa pada saat itu terjalin hubungan yang erat antara kerajaan Sumenep dan kerajaan Cina, patung-patung/ arca, baju kebesaran Raja/Sultan, sampai tulang/fosil ikan paus yang terdampar di pantai Sumenep pada tahun 1977.

Museum ketiga disebut juga museum Bindara Saod karena pada zamannya tempat itu adalah tempat Bindara Saod menyepi, maka disebut juga dengan Rumah penyepian Bindara Saod. Terdiri lima bagian yaitu teras rumah, kamar depan bagian timur, kamar depan bagian barat, kamar belakang bagian timur dan bagian barat

MUSIK DAERAH MADURA ASLI


Hal yang cukup menggelikan ketika penggunaan kaset rekaman memasyarakat lewat pengeras suara, maka kaset-kaset yang diputar itu dijadikan sebagai tanda dalam menciptakan “acara pengantar” suatu acara tertentu yang sering kali tidak berkaitan dengan acara pokoknya. Misalnya, lagu keagamaan dijadikan pengantar acara mamaca (macapatan ala Madura); atau lagu yang dinyanyikan pesinden dijadikan selingan dalam acara pertunjukan seni bela diri. Oleh karena itu “acara pengantar” jangan dijadikan tolok ukur di dalam melihat hubungannya dengan “acara pokoknya”.
Bagi orang Madura, musik cenderung diperkenalkan dalam keadaan yang nyaring dan megah melalui presentasi pengeras suara. Namun kenyataan ini sering menjebak musik itu sendiri ke dalam penyampaian yang tidak sempurna kualitasnya, sebab terganggu oleh peralatan sound sistim yang seringkali kurang bermutu.
Budaya Musik yang Kuat di Madura Timur
Ada beberapa aspek penting ketika kita “membaca” peta musik di Madura timur pada umumnya, yaitu: budaya tradisi – budaya agama – budaya popular. Penjabaran pemetaan musiknya menjadi: musik tradisi (yang menonjol sronenan, tongtong, seni resitasi mamaca, klenengan); musik yang dipengaruhi islam (yang menonjol hadrah, gambus, samroh); dan musik popular (yang menonjol adalah dangdut). Variabel terakhir tidak akan dibahas, sebab pengaruh budayanya terhitung baru. Berikut ini, penulis akan membahasnya secara garis besarnya saja dalam makalah yang terbatas ini.
Musik Tongtong Tradisi Lama Madura
Tongtong adalah alat musik yang sangat kuno. Jaap Kunst berpendapat bahwa sebagian besar tongtong (kentongan) yang terbuat dari bambu dan kayu berasal dari jaman pra-Hindu.Selanjutnya, asal-usul istilah tongtong tidak digunakan lagi di Jawa, tetapi di Madura tetap ada bahkan penggunaannya menjurus permainan musikal. Hal ini sekurang-kurangnya telah terjadi pada jaman Hindu.
Dalam interpretasi historis dari musik tongtong tersebut, Bouvier memaparkan bahwa tongtong dalam fungsinya yang paling kuno digunakan sebagai alat penanda bahaya tertentu, seperti: saat gerhana bulan (disebut: bulan gherring [sakit]) dimana setiap keluarga keluar pekarangan membuat suasana ramai, termasuk pepohonan dipukuli. Masa berikutnya, tongtong dikembangkan menjadi alat komunikasi dengan kode-kode pukulan tertentu. Selanjutnya, tongtong dijadikan sebagai alat musik dalam orkes arak-arakan, yang mereka sebut musik patrol atau patrol kaleleng. Fungsinya selain hiburan, juga memiliki fungsi baru, yaitu membangunkan orang yang akan sahur puasa di bulan Ramadhan. Pada perkembangan terakhir, terjadi penambahan alat perkusi yang bersuara membrane dan suara gemerincing. Karakter tongtong sendiri mulai terpinggirkan dalam keseluruhan orkestrasi tersebut.
Selain berkembang sebagai orkes musik, pola-pola ritem tongtong sering dipakai dalam komposisi musik jenis lain. Misalnya, dalam pola tabuhan ritmik pada klenengan ataupun pada musik teater loddrok. Dalam bentuknya yang lebih spesifik, yaitu tongtong yang terbuat dari pangkal batang pohon siwalan (disebut dhungdhung), menjadi orkestra kentongan yang lumrah digunakan untuk mengiringi acara perlombaan merpati. Dalam ansambelisasi yang kecil, orkes kentongan ini dipakai dalam acara ritual meminta hujan dengan melakukan okol atau ojhung (pertarungan memakai rotan).
Sronenan yang Meriah
Sronenan merupakan sebutan untuk orkes musik karapan sapi yang mulai popular sejak tahun 1970-an itu. Kalau ditilik dari instrumennya yang terdiri dari alat berpencon keluarga gong, sesungguhnya alat musik tersebut terdapat pula tempat lain, bahkan lebih populer dan lebih tua. Kita dapat mencermati sejenis sronenan seperti di Jawa Barat (pada musik sisingaan), di Jawa Tengah (pada musik jaran kepang), di Jawa Timur (pada musik Reog), di Bali (pada musik Balaganjur). Pigeaud  mengingatkan  bahwa musik slompret (sejenis  korp musik  dalam  bentuk rombongan kecil, seperti: gamelan  saronèn atau kenong telo’) yang sering dilibatkan dalam pawai-pawai sebagai  musik “pengawal” pasukan, sudah cukup dikenal dan bukan khas Madura.[5] Pola musikal yang paling penting dari sronenan ini adalah struktur beat kolotomik yang saling berkelipatan diantara instrument yang dimainkan oleh masing-masing pemain. Istilah sronenan, sesungguhnya dicomot dari nama sebuah instrument yang diasosiasikan paling kuat atmosfir musikalnya, yaitu sejenis sarunai/surnei (Timur Tengah) atau selompret (Jawa) atau kategori jenis hobo (Eropa). Karakter suaranya sangat khas, yaitu nyaring, melengking, dan parau seperti suara burung merak.
Sronenan di Madura selalu dikaitkan dengan musiknya sapi-karapan (sapi jantan) ataupun sape sono’ (sapi betina dalam kontes kecantikan sapi). Di luar contoh yang fenomenal ini, sesungguhnya “gamelan” sronenan ini memiliki substansi sebagai musik arak-arakan. Dalam arti, mengarak subjek apapun yang diseremonialkan, seperti: mengarak jharan kenca’ (kuda menari) yang biasanya ditunggangi pengantin perkawinan maupun pengantin sunatan; mengarak sesajian/orang menunaikan hajad ke kuburan keramat, mengarak tamu kehormatan dan sebagainya. Di sisi yang lain, suatu kelompok sronenan yang disewa juga selalu dituntut untuk memberi hiburan musik kepada tamu.
Sebagai gamelan arak-arakan, maka sronenan dirancang sedemikian sehingga  mudah dibawa, praktis dijinjing-dipikul dan bebannya ringan karena terbuat dari bahan dasar besi plat. Kemeriahan musiknya juga diperkuat dengan atraksi  tubuh yang diperlihatkan oleh pemain sronenan saat memainkan musik. Bahkan kostumnya pun semakin memberi karakter kuat bahwa sronenan adalah musik yang gemebyar/meriah dan mengekspresikan kegemerlapan ala kerakyatan dan terinspirasi oleh kostum sapi.
Sronenan mempunyai gending-gending khusus untuk arak-arakan, seperti: giroan sarka’, lorongan sarka’ dan lorongan lanjhang. Sementara gending-gending yang bersifat umum kebanyakan diambil dari gending-gending tradisi gamelan sumenepan yang popular.
Menurut Munardi, kenong telo’ (baca: konsep kolotomik kenong-ketuk) yang berkembang di Jawa Timur mempengaruhi perkembangan musik kerakyatan Madura, seperti: musik tongtong dan gamelan saronèn.
Gamelan Sumenep Transformasi Lain Gamelan Jawa
Dapat dipastikan bahwa gamelan Madura adalah pungutan dari gamelan Jawa, dan merupakan karya ciptaan bangsawan keraton yang memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsawan Jawa. Hubungan keraton Sumenep (dan juga keraton Bangkalan) dengan keraton Solo (terutama jaman Mataram) sangat memungkinkan masuknya jenis kesenian seperti: gamelan, tembang macapatan, wayang topeng, bahkan hingga tayuban. Namun ketika keraton “kosong” (kaum bangsawan menyingkir ke desa-desa akibat politik islamisasi yang mengakibatkan runtuhnya pengaruh bangsawan di mata rakyat), maka kesenian itu justru lebih berkembang di desa-desa meskipun telah mengalami berbagai transformasi.
Di Madura memang mengenal pula perangkat instrumen feminin (tabuhan halus) untuk musik kamar, seperti: gender, gambang, siter dan suling (rebab tidak dipakai, perannya diganti gambang). Ada pula perangkat instrumen maskulin (tabuhan keras) yang berjumlah besar, seperti kendang, gong-kempul-kenong, bonang, simbal kecer. Transformasi yang berkembang di Sumenep bahwa penggunaan jenis bilah (demung) ditiadakan, hanya saron yang dipertahankan dan lebih banyak dimainkan secara variatif. Instrumen perangkat besar (termasuk instrument alusan) lebih banyak dipakai dalam musik kleningan (Jawa: klenengan) pada kesenian wayang topeng dan tayuban. Instrumen perangkat kecil (alusan) banyak digunakan dalam mengiringi tembang mamaca.
Peristilahan musik yang berkembang di Sumenep –juga merupakan bagian dari transformasi yang dimaksud—hampir berorientasi pada konsepsi musik Jawa. Contohnya, sistim nada slendro-pelog, penulisan notasi Jawa kepatihan, serta filosofi nama masing-masing nada (meskipun namanya berbeda), seperti:
Petthet            raja        tenggu’        lema’      bharang      petthet kene’
1                 2              3               5               6                    1
Meskipun para niyaga gamelan Sumenep menilai kualitas gamelan Jawa adalah yang terbaik, tetapi dianggap tidak tahan terhadap variasi suhu kelembaman udara malam alias peka terhadap suhu. Oleh karena itu, mereka lebih memilih gamelan berbahan logam campuran yang lebih stabil stemnya terhadap suhu. Maklum, umumnya mereka pentas secara outdoor sepanjang malam dan berangin.
Terbang Hadrah
Musik paling popular di kalangan masyarakat “oreng alem” (istilah untuk mengidentifikasi orang yang taat beragama [Islam]) adalah terbang hadrah. Oreng alem yang dominan di Madura seakan memberi dukungan kuat terhadap eksistensi jenis musik ini. Awalnya, terbang hadrah menjadi symbol musik pesantren, kemudian berkembang menjadi musik milik komunitas yang jauh lebih luas. Bermunculan ratusan kelompok-kelompok hadrah yang selalu memenuhi event-event perayaan keagamaan, arisan desa maupun komunitas kecil sekalipun hingga event yang disponsori pemerintah (festival hadrah). Tingkat kompetisi yang sangat tinggi ini memang cenderung terjadi pengembangan yang luar biasa. Bahkan aspeknya hingga urusan panggung yang disetting seperti bangunan mesjid, disertai pemasangan lampu-lampu beraneka warna dan pelepasan lampion. Performa pementasan dibuat sedemikian megah dan gemerlap.
Hal yang biasa terjadi di banyak tempat, jenis musik ini sering ditarikan dalam atmosfir koreografi ruddhat ( baca: rodat). Dasar musikalnya tersusun dari kombinasi ritem lima instrument terbang yang sesungguhnya hanya terbagi dalam tiga seksi polar ritem, antara lain:
  • Korbhian, artinya: induk. Pola korbhian menjadi dasar pembentukan “kalimat ritme” yang biasanya dimainkan oleh terbang ukuran besar (dimainkan dengan dua pemain terbang).
  • Budu’an, artinya: anak. Pola ritemnya merupakan sisipan sederhana dari pola utamanya. Dimainkan oleh dua pemain terbang dengan warna suara lebih ringan.
  • Peca’an, artinya pemisah. Pola ritem inilah yang mampu menghidupkan kesatuan interlocking musik ini. Biasanya, tingkat kecermelangan variasi ritem dapat disoroti dari lini ini.
Musik terbang hadrah semakin bergairah ketika mereka mulai memasukkan instrumen jidor (bedug atau bass drum) yang sangat memprovokasi kesan ritem secara keseluruhan. Apalagi dalam sebuah pertunjukan, jidor tidak hanya ditabuh biasa, melainkan ditabuh dengan cara digendong sambil melakukan atraksi yang memukau menyatu dengan kelompok penari ruddhat.
Setiap pementasan, mereka tetap memegang model ritme standart, yaitu: mateno’, jus, yahum, pinjang, jus pinjang (dua yang terakhir jarang dilakukan). Pola-pola ritem tersebut sama sekali tidak mempengaruhi nyanyian yang dibawakan para nasyid. Tidak seperti halnya musik gambus, kesenian hadrah ini tidak berhubungan lagi dengan masyarakat Arab di Sumenep, bahkan citra musiknya sekalipun.
Gambus yang Lekat oleh Citra Arab-nya.
Orkestrasi musik maupun instrumennya tidak banyak berubah dari aslinya, Arab. Gambus cukup terpelihara dalam komunitas Arab yang relatif banyak di Sumenep. Meskipun terbatas, genetika musik ini tetap mempengaruhi secara signifikan terhadap komunitas pesantren atau oreng alem yang fanatik, mengingat islamisasi demikian kuat ditanamkan. Terlepas apakah musiknya itu religius ataupun profan, tampaknya bukan ukuran penting sebab pemakaian bahasa Arab seakan “menguasai” citra islami itu sendiri. Hal ini dianggap memiliki nilai prestisius tersendiri.
Penyelenggaraan musik ini terhitung stabil dan terpelihara dalam acara-acara arisan mingguan komunitas-komunitas kecil yang memang khusus untuk kaum lelaki ini. Keeksklusifan musik ini tidak hanya pada persoalan alat-musikalitas-bahasa, tetapi ditandai pula bahwa jarang ditemukan kelompok gambus di pedesaan. Kebanyakan orang desa rela mengundang kelompok gambus dari kota Sumenep atau bahkan dari Surabaya.
Samroh atau Qasidah
Orkes ini biasanya muncul dalam event-event perayaan maulid, perayaan hari nasional, maupun acara arisan ibu-ibu. Orkes ini cenderung dimainkan oleh kaum perempuan. Sama seperti halnya gambus, orkes yang masih kental nuansa import-nya ini telah banyak melibatkan penggunaan instrument Barat (gitar dan bas elektrik, keyboard, drum set, biola, dan sebagainya). Jenis musik yang diperkirakan masuk Madura tahun 1950-an ini mencerminkan  pengaruh langsung dari orkes “modern Islam”. Bedanya dengan gambus, eksistensi musik ini tidak eksklusif, sebab indikasinya banyak kelompok samroh yang lahir di desa-desa dan umumnya dimainkan dan diorganisasikan oleh kaum perempuan. Nampaknya, faktor genderisasi dalam wilayah kesenian sudah cukup maju di Sumenep ini.
Teks lagu merupakan adaptasi dari nyanyian religius yang beredar (ada yang mengambil dari kitab Al Barzanji) atau kreasi yang berkaitan dengan tema moral. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab, Indonesia atau Madura 

Aset Nasional Yang Nyaris Ditinggal ( Topeng Dalang Madura )

Suatu kebudayaan yang dimiliki oleh kabupaten sumenep (Madura) berupa Topeng Dalang Madura. Seni topeng ini sangat menarik perhatian para turis baik domestik maupun manca negara. Disebut Topeng Dalang karena para pemainnya menggunakan topeng (tokop) sesuai dengan peranannya masing-masing. Dinamakan Topeng Dalang karena jalan ceritanya (dialognya) di bawakan oleh seorang dalang kecuali Semar Bagong Petrok Garing yang disebut Panakawal.
Seorang dalang harus mempunyai kemampuan mengatur jalannya cerita dengan suara berbeda-beda baik suara laki-laki maupun suara perempuan juga harus pandai membawakan kidung (ngejung) sesuai dengan peran tiap-tiap pemain. Semua pemainnya terdiri atas pemain laki-laki dan tidak biasa pemain topeng dari wanita. Para pemain topeng dibedakan atas peran putri dan peran putra. Sedangkan peran putra dibedakan atas tarian yang halus menengah dan tarian keras. Dan biasanya di ikuti dengan Kleningan yang sesuai.
Topeng Dalang Madura di Sumenep di bedakan dua versi yaitu; Versi Kalianget dan Versi Selopeng (dasuk). Kedua versi tersebut sama-sama menarik para turis. Terbukti bahwa Topeng Dalang ini pernah di pentaskan di luar negri (Prancis, Jepang, Amerika Serikat, Belgia ) dengan bayaran yang sangat tinggi sehingga menambah Devisa Negara.

Ada beberapa perbedaan antara Versi Kalianget dan Versi Slopeng(dasuk) yaitu :

1. Versi Kalianget
• Pakar : Sabidin
• Exstra : Branyak ( Putra kembar )
• Tokop (topeng) untuk laki-laki : Kumis di cat hitam
• Rape' : Lurus
• Panakawan : Semar Bagong Petruk
• Tariannya lebih sederhana
• Warna tokop(topeng) tertentu, misalnya : Gatot Kaca (merah)
• Penggunaan gungseng bagi tokoh kasar hanya di kaki kanan.

2.Versi Slopeng (dasuk)
• Pakar : Supakra
• Ekstra : Klono Tonjong Seto (tari tongga) dan Putri kembar
• Rape' : Disamping kanan dan kiri memanjang ke bawah
• Panakawan : Semar Bagong Petruk, Saling
• Tarianya bervariasi
• Warna tokop(topeng) tertentu, misalnya : Gatot Kaca (putih)
• Penggunaan gungseng bagi tokoh kasar di kaki kanan dan kiri

Kelompok Pemain
• Pemain Putri
Sinta
Srikandi
Subadro
• Pemain halus
Darmo Kusumo
Nakula/Sadewa
• Pemain Menepi
Arjuno
Rama
Lasmana
B.Kresna
Adipati Kusumo
• Pemain Kasar
Broto Simo
Broto Dewa
Gatot Koco
Sangkoni
Rahwono
Raja Bonto


Adapun fungsi atau kegunaan Topeng Dalang Madura yaitu :
• Sebagai media dakwah
• Sebagai sarana hiburan
• Sebagai sarana pendidikan
• Sebagai alat untuk selamatan ruwat /rokat

Kesimpulan :
"Sayang sekali kesenian ini nyaris ditinggal, karena generasi mudanya kurang menyenangi dan cenderung lebih mengutamakan kesenian dari luar, sehingga dimungkinkan di belakang hari akan punah...Benar-benar sangat disayangkan!"