Hal yang cukup menggelikan ketika penggunaan kaset rekaman memasyarakat lewat pengeras suara, maka kaset-kaset yang diputar itu dijadikan sebagai tanda dalam menciptakan “acara pengantar” suatu acara tertentu yang sering kali tidak berkaitan dengan acara pokoknya. Misalnya, lagu keagamaan dijadikan pengantar acara mamaca (macapatan ala Madura); atau lagu yang dinyanyikan pesinden dijadikan selingan dalam acara pertunjukan seni bela diri. Oleh karena itu “acara pengantar” jangan dijadikan tolok ukur di dalam melihat hubungannya dengan “acara pokoknya”.
Bagi orang Madura, musik cenderung diperkenalkan dalam keadaan yang nyaring dan megah melalui presentasi pengeras suara. Namun kenyataan ini sering menjebak musik itu sendiri ke dalam penyampaian yang tidak sempurna kualitasnya, sebab terganggu oleh peralatan sound sistim yang seringkali kurang bermutu.
Budaya Musik yang Kuat di Madura Timur
Ada beberapa aspek penting ketika kita “membaca” peta musik di Madura timur pada umumnya, yaitu: budaya tradisi – budaya agama – budaya popular. Penjabaran pemetaan musiknya menjadi: musik tradisi (yang menonjol sronenan, tongtong, seni resitasi mamaca, klenengan); musik yang dipengaruhi islam (yang menonjol hadrah, gambus, samroh); dan musik popular (yang menonjol adalah dangdut). Variabel terakhir tidak akan dibahas, sebab pengaruh budayanya terhitung baru. Berikut ini, penulis akan membahasnya secara garis besarnya saja dalam makalah yang terbatas ini.
Musik Tongtong Tradisi Lama Madura
Tongtong adalah alat musik yang sangat kuno. Jaap Kunst berpendapat bahwa sebagian besar tongtong (kentongan) yang terbuat dari bambu dan kayu berasal dari jaman pra-Hindu.Selanjutnya, asal-usul istilah tongtong tidak digunakan lagi di Jawa, tetapi di Madura tetap ada bahkan penggunaannya menjurus permainan musikal. Hal ini sekurang-kurangnya telah terjadi pada jaman Hindu.
Dalam interpretasi historis dari musik tongtong tersebut, Bouvier memaparkan bahwa tongtong dalam fungsinya yang paling kuno digunakan sebagai alat penanda bahaya tertentu, seperti: saat gerhana bulan (disebut: bulan gherring [sakit]) dimana setiap keluarga keluar pekarangan membuat suasana ramai, termasuk pepohonan dipukuli. Masa berikutnya, tongtong dikembangkan menjadi alat komunikasi dengan kode-kode pukulan tertentu. Selanjutnya, tongtong dijadikan sebagai alat musik dalam orkes arak-arakan, yang mereka sebut musik patrol atau patrol kaleleng. Fungsinya selain hiburan, juga memiliki fungsi baru, yaitu membangunkan orang yang akan sahur puasa di bulan Ramadhan. Pada perkembangan terakhir, terjadi penambahan alat perkusi yang bersuara membrane dan suara gemerincing. Karakter tongtong sendiri mulai terpinggirkan dalam keseluruhan orkestrasi tersebut.
Selain berkembang sebagai orkes musik, pola-pola ritem tongtong sering dipakai dalam komposisi musik jenis lain. Misalnya, dalam pola tabuhan ritmik pada klenengan ataupun pada musik teater loddrok. Dalam bentuknya yang lebih spesifik, yaitu tongtong yang terbuat dari pangkal batang pohon siwalan (disebut dhungdhung), menjadi orkestra kentongan yang lumrah digunakan untuk mengiringi acara perlombaan merpati. Dalam ansambelisasi yang kecil, orkes kentongan ini dipakai dalam acara ritual meminta hujan dengan melakukan okol atau ojhung (pertarungan memakai rotan).
Sronenan yang Meriah
Sronenan merupakan sebutan untuk orkes musik karapan sapi yang mulai popular sejak tahun 1970-an itu. Kalau ditilik dari instrumennya yang terdiri dari alat berpencon keluarga gong, sesungguhnya alat musik tersebut terdapat pula tempat lain, bahkan lebih populer dan lebih tua. Kita dapat mencermati sejenis sronenan seperti di Jawa Barat (pada musik sisingaan), di Jawa Tengah (pada musik jaran kepang), di Jawa Timur (pada musik Reog), di Bali (pada musik Balaganjur). Pigeaud mengingatkan bahwa musik slompret (sejenis korp musik dalam bentuk rombongan kecil, seperti: gamelan saronèn atau kenong telo’) yang sering dilibatkan dalam pawai-pawai sebagai musik “pengawal” pasukan, sudah cukup dikenal dan bukan khas Madura.[5] Pola musikal yang paling penting dari sronenan ini adalah struktur beat kolotomik yang saling berkelipatan diantara instrument yang dimainkan oleh masing-masing pemain. Istilah sronenan, sesungguhnya dicomot dari nama sebuah instrument yang diasosiasikan paling kuat atmosfir musikalnya, yaitu sejenis sarunai/surnei (Timur Tengah) atau selompret (Jawa) atau kategori jenis hobo (Eropa). Karakter suaranya sangat khas, yaitu nyaring, melengking, dan parau seperti suara burung merak.
Sronenan di Madura selalu dikaitkan dengan musiknya sapi-karapan (sapi jantan) ataupun sape sono’ (sapi betina dalam kontes kecantikan sapi). Di luar contoh yang fenomenal ini, sesungguhnya “gamelan” sronenan ini memiliki substansi sebagai musik arak-arakan. Dalam arti, mengarak subjek apapun yang diseremonialkan, seperti: mengarak jharan kenca’ (kuda menari) yang biasanya ditunggangi pengantin perkawinan maupun pengantin sunatan; mengarak sesajian/orang menunaikan hajad ke kuburan keramat, mengarak tamu kehormatan dan sebagainya. Di sisi yang lain, suatu kelompok sronenan yang disewa juga selalu dituntut untuk memberi hiburan musik kepada tamu.
Sebagai gamelan arak-arakan, maka sronenan dirancang sedemikian sehingga mudah dibawa, praktis dijinjing-dipikul dan bebannya ringan karena terbuat dari bahan dasar besi plat. Kemeriahan musiknya juga diperkuat dengan atraksi tubuh yang diperlihatkan oleh pemain sronenan saat memainkan musik. Bahkan kostumnya pun semakin memberi karakter kuat bahwa sronenan adalah musik yang gemebyar/meriah dan mengekspresikan kegemerlapan ala kerakyatan dan terinspirasi oleh kostum sapi.
Sronenan mempunyai gending-gending khusus untuk arak-arakan, seperti: giroan sarka’, lorongan sarka’ dan lorongan lanjhang. Sementara gending-gending yang bersifat umum kebanyakan diambil dari gending-gending tradisi gamelan sumenepan yang popular.
Menurut Munardi, kenong telo’ (baca: konsep kolotomik kenong-ketuk) yang berkembang di Jawa Timur mempengaruhi perkembangan musik kerakyatan Madura, seperti: musik tongtong dan gamelan saronèn.
Gamelan Sumenep Transformasi Lain Gamelan Jawa
Dapat dipastikan bahwa gamelan Madura adalah pungutan dari gamelan Jawa, dan merupakan karya ciptaan bangsawan keraton yang memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsawan Jawa. Hubungan keraton Sumenep (dan juga keraton Bangkalan) dengan keraton Solo (terutama jaman Mataram) sangat memungkinkan masuknya jenis kesenian seperti: gamelan, tembang macapatan, wayang topeng, bahkan hingga tayuban. Namun ketika keraton “kosong” (kaum bangsawan menyingkir ke desa-desa akibat politik islamisasi yang mengakibatkan runtuhnya pengaruh bangsawan di mata rakyat), maka kesenian itu justru lebih berkembang di desa-desa meskipun telah mengalami berbagai transformasi.
Di Madura memang mengenal pula perangkat instrumen feminin (tabuhan halus) untuk musik kamar, seperti: gender, gambang, siter dan suling (rebab tidak dipakai, perannya diganti gambang). Ada pula perangkat instrumen maskulin (tabuhan keras) yang berjumlah besar, seperti kendang, gong-kempul-kenong, bonang, simbal kecer. Transformasi yang berkembang di Sumenep bahwa penggunaan jenis bilah (demung) ditiadakan, hanya saron yang dipertahankan dan lebih banyak dimainkan secara variatif. Instrumen perangkat besar (termasuk instrument alusan) lebih banyak dipakai dalam musik kleningan (Jawa: klenengan) pada kesenian wayang topeng dan tayuban. Instrumen perangkat kecil (alusan) banyak digunakan dalam mengiringi tembang mamaca.
Peristilahan musik yang berkembang di Sumenep –juga merupakan bagian dari transformasi yang dimaksud—hampir berorientasi pada konsepsi musik Jawa. Contohnya, sistim nada slendro-pelog, penulisan notasi Jawa kepatihan, serta filosofi nama masing-masing nada (meskipun namanya berbeda), seperti:
Petthet raja tenggu’ lema’ bharang petthet kene’
1 2 3 5 6 1
Meskipun para niyaga gamelan Sumenep menilai kualitas gamelan Jawa adalah yang terbaik, tetapi dianggap tidak tahan terhadap variasi suhu kelembaman udara malam alias peka terhadap suhu. Oleh karena itu, mereka lebih memilih gamelan berbahan logam campuran yang lebih stabil stemnya terhadap suhu. Maklum, umumnya mereka pentas secara outdoor sepanjang malam dan berangin.
Terbang Hadrah
Musik paling popular di kalangan masyarakat “oreng alem” (istilah untuk mengidentifikasi orang yang taat beragama [Islam]) adalah terbang hadrah. Oreng alem yang dominan di Madura seakan memberi dukungan kuat terhadap eksistensi jenis musik ini. Awalnya, terbang hadrah menjadi symbol musik pesantren, kemudian berkembang menjadi musik milik komunitas yang jauh lebih luas. Bermunculan ratusan kelompok-kelompok hadrah yang selalu memenuhi event-event perayaan keagamaan, arisan desa maupun komunitas kecil sekalipun hingga event yang disponsori pemerintah (festival hadrah). Tingkat kompetisi yang sangat tinggi ini memang cenderung terjadi pengembangan yang luar biasa. Bahkan aspeknya hingga urusan panggung yang disetting seperti bangunan mesjid, disertai pemasangan lampu-lampu beraneka warna dan pelepasan lampion. Performa pementasan dibuat sedemikian megah dan gemerlap.
Hal yang biasa terjadi di banyak tempat, jenis musik ini sering ditarikan dalam atmosfir koreografi ruddhat ( baca: rodat). Dasar musikalnya tersusun dari kombinasi ritem lima instrument terbang yang sesungguhnya hanya terbagi dalam tiga seksi polar ritem, antara lain:
- Korbhian, artinya: induk. Pola korbhian menjadi dasar pembentukan “kalimat ritme” yang biasanya dimainkan oleh terbang ukuran besar (dimainkan dengan dua pemain terbang).
- Budu’an, artinya: anak. Pola ritemnya merupakan sisipan sederhana dari pola utamanya. Dimainkan oleh dua pemain terbang dengan warna suara lebih ringan.
- Peca’an, artinya pemisah. Pola ritem inilah yang mampu menghidupkan kesatuan interlocking musik ini. Biasanya, tingkat kecermelangan variasi ritem dapat disoroti dari lini ini.
Musik terbang hadrah semakin bergairah ketika mereka mulai memasukkan instrumen jidor (bedug atau bass drum) yang sangat memprovokasi kesan ritem secara keseluruhan. Apalagi dalam sebuah pertunjukan, jidor tidak hanya ditabuh biasa, melainkan ditabuh dengan cara digendong sambil melakukan atraksi yang memukau menyatu dengan kelompok penari ruddhat.
Setiap pementasan, mereka tetap memegang model ritme standart, yaitu: mateno’, jus, yahum, pinjang, jus pinjang (dua yang terakhir jarang dilakukan). Pola-pola ritem tersebut sama sekali tidak mempengaruhi nyanyian yang dibawakan para nasyid. Tidak seperti halnya musik gambus, kesenian hadrah ini tidak berhubungan lagi dengan masyarakat Arab di Sumenep, bahkan citra musiknya sekalipun.
Gambus yang Lekat oleh Citra Arab-nya.
Orkestrasi musik maupun instrumennya tidak banyak berubah dari aslinya, Arab. Gambus cukup terpelihara dalam komunitas Arab yang relatif banyak di Sumenep. Meskipun terbatas, genetika musik ini tetap mempengaruhi secara signifikan terhadap komunitas pesantren atau oreng alem yang fanatik, mengingat islamisasi demikian kuat ditanamkan. Terlepas apakah musiknya itu religius ataupun profan, tampaknya bukan ukuran penting sebab pemakaian bahasa Arab seakan “menguasai” citra islami itu sendiri. Hal ini dianggap memiliki nilai prestisius tersendiri.
Penyelenggaraan musik ini terhitung stabil dan terpelihara dalam acara-acara arisan mingguan komunitas-komunitas kecil yang memang khusus untuk kaum lelaki ini. Keeksklusifan musik ini tidak hanya pada persoalan alat-musikalitas-bahasa, tetapi ditandai pula bahwa jarang ditemukan kelompok gambus di pedesaan. Kebanyakan orang desa rela mengundang kelompok gambus dari kota Sumenep atau bahkan dari Surabaya.
Samroh atau Qasidah
Orkes ini biasanya muncul dalam event-event perayaan maulid, perayaan hari nasional, maupun acara arisan ibu-ibu. Orkes ini cenderung dimainkan oleh kaum perempuan. Sama seperti halnya gambus, orkes yang masih kental nuansa import-nya ini telah banyak melibatkan penggunaan instrument Barat (gitar dan bas elektrik, keyboard, drum set, biola, dan sebagainya). Jenis musik yang diperkirakan masuk Madura tahun 1950-an ini mencerminkan pengaruh langsung dari orkes “modern Islam”. Bedanya dengan gambus, eksistensi musik ini tidak eksklusif, sebab indikasinya banyak kelompok samroh yang lahir di desa-desa dan umumnya dimainkan dan diorganisasikan oleh kaum perempuan. Nampaknya, faktor genderisasi dalam wilayah kesenian sudah cukup maju di Sumenep ini.
Teks lagu merupakan adaptasi dari nyanyian religius yang beredar (ada yang mengambil dari kitab Al Barzanji) atau kreasi yang berkaitan dengan tema moral. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab, Indonesia atau Madura
0 komentar:
Posting Komentar